√GAMBLANG... Proyek Pelatihan Rp5,6 Triliun Kartu Prakerja Bermasalah !!

GAMBLANG... Proyek Pelatihan Rp5,6 Triliun Kartu Prakerja Bermasalah !! - Hai Sobat pembaca semuanya, salam sejahtera kami ucapkan untuk para sobat Pembaca Swarakyat. Semoga Allah selalu melindungi kita semua dan memberikan Rahmat dan hidayahNya sehingga sobat bisa meluangkan waktu untuk mampir di situs kami ini.

Di kesempatan ini kita akan mengupas tentang GAMBLANG... Proyek Pelatihan Rp5,6 Triliun Kartu Prakerja Bermasalah !! yang mungkin sedang sobat cari, dan kami sudah menyiapkan artikel ini dengan baik untuk dapat Sobat baca dan ambil informasi didalamnya. Semoga postingan kami kali ini dapat membawa manfaat untuk Sobat semuanya, oke selamat membaca.


Proyek Pelatihan Rp5,6 Triliun Kartu Prakerja Bermasalah !! 

SEJAK AWAL, argumen saya tidak goyang. Masalah utama Kartu Prakerja adalah pada kegiatan jual beli video pelatihan Rp5,6 triliun yang berpotensi korupsi—termasuk dugaan konflik kepentingan dan merugikan keuangan negara.

Akarnya adalah Perpres 36/2020 tentang Kartu Prakerja yang menempatkan platform digital dalam posisi ‘dominan’ (mitra resmi, kurator, penandatangan perjanjian kerja sama, bahkan dalam pelaksanaan menjadi lembaga penyedia pelatihan juga).

Begitulah juga yang disampaikan oleh KPK sebagai hasil kajian dan rekomendasi, kemarin, Kamis (18/6/2020).

Sementara itu Manajemen Pelaksana mengonfirmasi kemungkinan besar Perpres Kartu Prakerja dan peraturan turunannya seperti Permenko Perekonomian 3/2020 akan direvisi.

Beberapa pihak terlihat kecewa, mengapa KPK tidak melakukan penindakan malahan pencegahan (rekomendasi)?

Orang boleh berbeda pendapat tapi saya termasuk yang tidak kecewa. Mengapa?

Hasil kajian dan rekomendasi KPK itu bermakna penting jika niat kita memang menyelamatkan keuangan negara, bukan karena kita ingin jabatan politik, kue proyek, atau cari pamor. Apalagi rekomendasi KPK berbeda bumi dan langit jika dibandingkan dengan saran dan pertimbangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang tergesa mengatakan tidak ada indikasi pelanggaran hukum dalam kemitraan dengan platform digital tanpa melalui penyelidikan terlebih dahulu.

Masyarakat bisa membedakan sendiri ‘keberpihakan’ dan ‘mutu’ kedua lembaga itu. Bisa jadi, menurut saya, perlu ditelusuri ada apa sebenarnya di balik pendapat KPPU itu? Lobi semacam apa yang berlangsung di antara para komisionernya dan pihak-pihak luar?

Sah-sah saja masyarakat menduga-duga. Apalagi KPPU punya sejarah buruk ketika komisionernya terbukti disuap Rp500 juta oleh seorang eksekutif perusahaan Grup Lippo berkaitan dengan kasus Astro. Pemberi dan penerima suap divonis 3-4 tahun penjara. Kasus itu ditangani KPK pada 2009.

Saya juga mengapresiasi pengakuan pihak platform digital (Skill Academy, Pintaria, Sekolahmu dkk) yang menyebutkan belum ada sepeser pun pembayaran dari pemerintah. Poin positifnya adalah Rp5,6 triliun masih aman di rekening negara. Belum mengalir sampai jauh...

Tapi KPK yang dulu berbeda dengan sekarang. Yang sekarang tidak ada taji. Gampang ‘masuk angin’. Tahu dari mana? Memang KPK yang dulu seperti apa? Apa batu uji yang dipakai untuk mengukur?

Saya termasuk wartawan generasi awal di Seputar Monas yang menjadi saksi sejarah berjalannya lembaga ini. Mulai dari masih berupa kertas undang-undang, berkantor di Veteran, menangani kasus awal (korupsi helikopter Aceh, KPU), pergantian pimpinan berjilid-jilid, membeli alat sadap, penangkapan penyidik KPK yang minta uang kepada saksi/tersangka, pelaksanaan OTT yang berhasil dan gagal, mengincar pemain kakap, polemik cicak-buaya, hingga yang sekarang ramai kasus Novel Baswedan dan Harun Masiku... Bahkan saya pelapor untuk kasus Hambalang dan Prakerja. Sementara untuk kasus suap Bank Indonesia, saya yang menulis di koran pertama kali.

Intinya begini. KPK isinya adalah manusia (ada polisi, jaksa, auditor dll)—tidak 100% benar, tidak 100% salah. Tapi bagaimana pun martabat suatu lembaga tetap harus dijaga. Ini berlaku juga untuk semua lembaga negara (Mabes Polri, Kejaksaan, DPR, Presiden dll). Yang kita kejar adalah (oknum) pelaku, yang tentunya otomatis merusak nama lembaga karena perilaku kotornya.

Pembuktian secara fakta hukum juga butuh proses dan tidak mudah. Apalagi pada kasus sensitif yang melibatkan aktor politik dan persinggungan dengan penegak hukum lain. Apa yang seringkali dipertanyakan “mengapa tidak menyentuh pemain kakapnya” memerlukan lebih banyak upaya lagi untuk menjawabnya—meskipun kita masih bisa berdebat apa dan siapa itu pemain kakap.

Tapi saya pikir menangkap mantan Sekretaris MA Nurhadi adalah awal yang bagus (tentu paham kan kekuatan ybs dan jaringan lobinya) untuk KPK jilid ini. Begitu juga mendalami korupsi Jiwasraya dengan memeriksa Bentjok dkk (siapa yang tidak tahu Thanos di bursa ini) adalah gebrakan baru.

Pada kepemimpinan jilid-jilid sebelumnya juga ada momen emasnya masing-masing: menindak advokat senior OCK dan Lucas, besan presiden aktif, ketua umum partai berkuasa (Anas Urbaningrum), ketua KPU, dll. Kepolisian dan Kejaksaan pun ada momentum dan legacy-nya masing-masing dan kita perlu angkat topi.

Bagaimana dengan kasus Novel Baswedan dan Harun Masiku? Tentu saja kekerasan yang dialami Novel patut diperhatikan. Dinamika tentu ada dalam proses hukum. Tapi membuktikan adanya dugaan ‘permainan’ hukum tidak mudah. Kita tidak bisa asal bersuara tanpa dasar dan bukti. Kalau bilang pengadilannya sudah diatur, kita harus membuktikan itu—meskipun harus diakui ini kasus penting bagi sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kalau Harun Masiku, menurut saya masih proses teknis saja. Kelak akan ditangkap juga. Tinggal tunggu waktu. Mungkin perlu ‘pembicaraan tingkat atas’ dulu sebelum dieksekusi. Tunggu saja.

Kritik saya terhadap Kartu Prakerja pada dasarnya merangkum apa yang saya alami selama bertahun-tahun ke belakang dalam dunia skandal di negara ini. Bahwa penting bagi kita semua untuk memurnikan lagi tujuan untuk apa mendorong pemberantasan korupsi.

Kalau saya menganggap hal itu bukan main-main—apalagi sekadar cari follower medsos!

👉Pemberantasan korupsi tidak boleh jadi alat untuk meraih ambisi politik, merusak dan mencaci orang per orang, menarik lembaga donor, menerima upeti dari kanan/kiri untuk kepentingan pribadi, menghancurkan lawan bisnis, mengadu domba antarlembaga/institusi...

Kritik kita sebagai masyarakat pun jangan hanya dilakukan atas dasar emosi dan hasutan. Harus jernih dan konsisten. Tidak perlu mengikuti buzzer-buzzer yang kadang menjadikan suatu isu/perkara sebagai lahan berisik untuk mendapatkan uang/jabatan—saya tahu dunia-dunia begitu ada tarif dan model bisnisnya sendiri, orang-orangnya pun sebagian saya tahu.

Saya hormat pada semua lembaga negara/lembaga pemerintah di negara ini. Saya respek pada pejabat yang serius menjalankan wewenang dan tidak korupsi. Kepada semua penegak hukum (Kapolri, Jaksa Agung, Ketua MA, Ketua KPK, pimpinan organisasi advokat dll), saya juga menghargai posisi dan tugas masing-masing. Itu clear.

👉Makanya, ketika soal Prakerja sudah sampai pada tahap seperti sekarang, ketika pemahaman dari berbagai sudut pandang kelembagaan sudah terungkap dan suara publik jelas tercermin dari berbagai media massa, sekarang waktu yang terbaik bagi Presiden Jokowi untuk memimpin lagi: merevisi Perpres Kartu Prakerja, memerintahkan dibentuknya format pelatihan yang lebih baik dan tidak berpotensi korupsi, mendistribusikan bantuan/insentif bagi pekerja/pengangguran terdampak korona sesegera mungkin.

Milenial-milenial pebisnis digital sebaiknya juga memahami situasi ini dengan baik—jauhi bermain politik—dan tidak memaksakan ‘monetisasi’ program negara dalam Kartu Prakerja. Risiko hukumnya besar. Dan itu akan membakar semua yang sudah kalian rintis selama ini.

Salam 5,6 Triliun.

(By Agustinus Edy Kristianto)

*sumber: fb

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√GAMBLANG... Proyek Pelatihan Rp5,6 Triliun Kartu Prakerja Bermasalah !!"

Posting Komentar